20150814

The Idea Behind 9.460.800.000 Seconds of Repetition


Bagaimana kita mempelajari sesuatu?
 
Bagaimana kita tahu makan harus dengan urutan seperti itu? 

Bagaimana tubuh kita bisa mengingat apa apa yang harus dilakukan saat akan melakukan sesuatu?

Repetition. Penguluangan. Yang kemudian akan terekam oleh memori kita, dan selanjutnya akan diingat oleh tubuh kita. Aku pernah baca sebuah penelitian bahwa tubuh kita hanya butuh 40 hari untuk mengingat suatu pola dan akan menjadikannya suatu kebiasaan. Misal, paksa tubuh untuk bangun pagi di jam tertentu selama 40 hari, dan hari ke 41, tanpa bantuan alarm, tubuh akan otomatis mengingat siklus di 40 hari terakhir dan akan membiasakan untuk bangun di jam tersebut. Keren kan. Nggak juga ya. Oke kita lanjut.

40 hari cukup untuk memaksa tubuh melakukan siklus tertentu. Apa yang terjadi jika repetition  tersebut dilakukan selama waktu yang lebih jauh. Katakanlah 300 tahun. Maka akan ada kurang lebih 109.500 hari. Yang akan berarti juga akan ada kurang lebih 2.628.000 jam. tensu saja akan ada kurang lebih 157.680.000 menit. Dan akan ada sekitar 9.460.800.000 detik. Banyak kan?

Gak hanya tubuh yang kan mengingat pola dalam waktu sebanyak itu, tapi juga pola pikir. Ide. Dan saat kita sudah mempunyai pola pikir tertentu dan kemudian dibebaskan, apa yang terjadi? Kalo manusia normal pasti akan berpegang dengan apa yang mereka punya. Manusia gak akan seiseng petani yang kemudian menjajah wilayah lain jika yang dibutuhkan hanya bertahan hidup.

Lebih simple lagi, kita dijajah oleh bangsa lain udah lebih dari 300 tahun (bener gak sih), dan kemudian kita merdeka. Dan kurang lebih begitulah keadaan sekarang. Apa si dijajah? Sesimple kita gak bisa hidup sendiri, biasa ngikut orang. Dan alam bawah sadar kita sudah men-setting otomatis kalo sudah bisa ngikut orang pasti baik-baik saja. Ya, hanya sebatas baik-baik saja, kita tidak terlatih untuk sukses cuy.

Dan saat kita sudah merdeka (read. Semacam merdeka) kita masih menganggap posisi aman kita saat bisa ngikut orang.

Masih terlihat banyak terlihat tercecer disana-sini mind set pencapaian tertinggi manusia indonesia, pada umumnya di kacamata gue, adalah menikah. Bukan kontribusyen kita ke negara, bukan mempunyai karya yang bisa menopang diri kita sendiri, semak-nyosh apapun karya atau kontribusyen anda tapi anda belum menikah pastilah belum  dibilang sukses. Bisa dibayangkan bagaimana tingkat pertumbuhan penduduk di negara Indonesia kita yang tercinta ini. Dan apa yang bisa kita berikan kepada negara, ya hanya kepala-kepala baru yang musti diurus hingga bisa menghasilkan kepala-kepala baru lagi dikemudian hari. Dan semakin kesini masalah yang kan dihadapi hanyalah jumlah kalo gak padat. Itu aja mulu ampe kiamat.

Di negara lain yang mempunyai tingkat pertumbuhan penduduk yang gak se-rapid Indonesia, lebih banyak yang bisa mereka berikan ke negara dan orang disekitarnya. Bagi mereka menikah penting, tapi sepenting nomer 27, gak lebih penting dari nomer 1. Di negara yang selalu sukses menambah jumlah kepala rata-rata 4 juta pertahun, demi apa Indonesia mau maju. Semua akan ada negatif dan positif, tergantung darimana kita memandang suatu masalah. Makan bukan jawaban atas ngantuk, dan tidur bukan jawaban atas haus, padahal makan penting banget saat lapar dan tidur akan sangat penting jika kita mencari solusi saat ngantuk. Betul tidak?!

Rasa aman untuk bisa “ngikut” orang lain agaknya perlu dipertimbangkan lagi deh. Bukan hanya pembenaran karena kita jomblo. Tapi menikah sepertinya bukan satu-satuny parameter kesuksesan dalam hidup, setidaknya ada beberapa orang yang menganggap itu penting. Pendapat akan benar saat diungkapkan oleh orang dalam jumlah besar, lain lagi jika harus satu lawan satu. Kebenaran akan lebih beragam jika punya niali pembanding yang sama, bukan satu lawan banyak.

Pembenaran. Atau jawaban. Yang jelas butuh dipertimbangkan.

Masalahnya, mind set “ngikut “ orang ini sudah tertanam lebih dari 300 tahun. Sudah menjadi sebuah ide. Bagian paling mendasar dari pola pikir orang-orang beberapa dekade terakhir, dan sepertinya masih akan tetap lestari dan akan diwariskan untuk beberapa dekade kedepan.

Aku bukan orang yang sudah bisa hidup sendiri. Aku orang yang sadar sudah hampir membuang impian untuk membahagiakan orang lain yang gak ikut ngejalanin hidupku. Aku orang yang masih hidup di bawah limit orang lain yang nampak limitless. Aku orang yang sering kali memikirkan apa yang dipikirkan orang lain tentang kita dan jalan hidup kita meski kita tahu mereka tak berandil banyak di kehidupan kita di kemudian hari. Aku orang yang melihat batas tertinggi yang seharusnya bisa dicapai dari tempat dengan serba keterbatasan.

Terlepas dari kebebasan berbatas itu, ada juga beberapa orang yang nyaman, setidaknya terlihat nyaman, hidup di dalam keterbatasan. aku sudah tidak bicara soal materi lagi disni, bukan keterbatasan materi tapi keterbatan berkreasi dan menikmati hidup. Dengan dalih hemat kita rela membuang kesempatan untuk menikmati waktu yang terus berjalan. Dengan dalih orang hidup harus punya materi yang spesifik dulu baru bisa disebut mapan, dengan membuang identitas diri. Itu pilihan mereka. Toh nyatanya orang yang dikekang sepanjang hidupnya akan mempunyai sudut pandang lain yang lebih berwarna tentang kebebasan. Dan orang yang sudah bisa mencapai segalanya masih akhirnya malah memilih bernyaman-nyaman dengan mebatasi ruang geraknya.

Lalu, sampai dimana batas tertinggi kalian? Terlihatkah batas kalian? Sudahkah merasa cukup?
Share: